Minggu, 07 Juli 2013

PESONA KA'BAH





Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Ka'bah adalah salah satu bangunan tertua di dunia yang berada di tengah-tengah Masjidil Haram. Setiap orang yang melihatnya dengan keikhlasan dan ketulusan pasti akan berlinang air mata. Suara zikir dan doa orang yang bertawaf mengelilinginya menjadi pesona tersendiri bagi orang yang merasakannya.

Bangunan Ka'bah mempunyai tingginya sekitar 15 meter, panjang sisi sebelah utara 9.92 meter, sisi sebelah barat 12.15 meter, sisi sebelah selatan 25.10 meter, dan sisi sebelah timur 11.88 meter.

Pintu Ka'bah di sisi sebelah timur dengan tinggi sekitar 2 meter dari tanah, terbuat dari emas murni dan bertuliskan ayat-ayat Alquran. Pada masa pemerintahan Khalid ibn ‘Abd Al Aziz, pintu ini dibuat dari bahan emas.

Sebelumnya, yaitu semenjak kekhalifahan Sultan Sulaiman Al Qanuni (959 H), pintu Ka'bah dibuat dari lempengan perak berlapiskan emas, terutama daun pintu dan gemboknya.

Dinding Ka'bah bagian bawah ditopang dengan tembok kuat yang terbuat dari batu marmer. Tembok itu melingkar mengitari Ka'bah dan disebut Syadzarwan. Tinggi Syadzarwan di bagian utara Ka‘bah mencapai 50 cm dengan lebar 39 cm, di bagian barat mencapai 27 cm dengan lebar 80 cm, di bagian selatan mencapai 24 cm dengan lebar 87 cm, sedangkan di bagian timur mencapai 22 cm dengan lebar 66 cm.

Menurut mazhab Syafi'i dan Maliki, tembok Syadzarwan termasuk bagian Ka'bah sehingga jamaah haji yang bertawaf harus berada di luarnya. Pendapat sebaliknya dikatakan oleh mazhab Hanafi. Me­nurut mereka, tembok Syadzarwan bukan merupakan bagian Ka’bah.

Adapun mazhab Hanbali memilih berada diantara dua pendapat di atas. Menurut mereka, menjauhi tembok itu sangat dianjurkan, tetapi seandainya jamaah melakukan tawaf di dalamnya maka tawafnya tetap sah dan tidak sampai rusak.

Yang jelas, belum diketahui secara pasti kapan pertama kali tembok Syadzarwan dibangun. Setiap kali Masjidil Haram dipugar, tempat-tempat di sekitarnya juga dipugar. Yang pasti, tembok Syadzarwan mengalami pemugaran pada tahun 542 H, 636 H, 660 H, dan 1010 H.

Buku Induk Haji dan Umrah untuk Wanita, Oleh; Dr. Ablah Muhammad Alkahlawy



SEGITIGA BERMUDA

SEGITIGA BERMUDA





Sejak bertolak dari Pelabuhan 18 September 2011 lalu, Kapal Scorpius membawa misi hebat, mengarungi samudera selama 365 hari, mengelilingi dunia, melintasi Kutub Selatan dan Utara. Untuk memecahkan rekor dunia.

Namun, kejadian tak diduga terjadi saat melintasi Trans-Atlantik, menuju Islandia. Kapal milik Rusia itu terperangkap badai di sebuah lokasi paling misterius dan dianggap angker di lautan: Segitiga Bermuda.

Kepada situs media Rusia, Itar-Tass, juru bicara ekspedisi, Anna Subbotina mengungkapkan, kondisi cuaca buruk di tempat yang memiliki reputasi menakutkan bagi sebagian pelaut, mencegah Scorpius mencapai tujuan berikutnya.

"Kapal pesiar itu tersambar petir di tengah badai kencang yang melanda pada Jumat 13 Juli 2012," kata Subbotina. Akibatnya, hampir semua sistem navigasi tak berfungsi, rusak.

Dalam kontak radio Senin lalu, Kapten Kapal, Sergei Nizovtsev mengatakan, setelah diterjang badai, peralatan kapal dan telepon satelit masih bisa beroperasi, meski mengalami gangguan. Sementara koneksi internet terputus sama sekali. Kabar baiknya, semua kru selamat dalam insiden itu.

"Angin kencang secara acak mengubah kecepatan dan arahnya," kata Nizovtsev. "Angin juga menciptakan pusaran air di beberapa titik di lautan."

Kadang-kadang arus balik memperlambat laju kapal, nyaris tak bergerak. "Bahkan mesin yang digeber dengan kecepatan penuh tak banyak membantu," tambah Kapten Nizovtsev.

GLONASS, satu-satunya sistem navigasi yang masih berfungsi di Scorpius menunjukkan koordinat keberadaan kapal, yakni 27 derajat 9 menit lintang Utara dan 64 derajat 50 menit bujur Barat.

Saat insiden terjadi, Nizovtsev mengatakan, tak ada kepanikan berlebih dalam kapal. Para kru, dia mengatakan, "tak percaya soal takhayul tentang kapal dan pesawat yang hilang misterius di Segitiga Bermuda."

Meski demikian, ia mengakui para kelasi melihat fenomena aneh di atmosfer selama badai menerjang 13 Juli lalu: awan vertikal yang menjulang dari air seperti dinding kabut. Juga lingkaran cahaya raksasa yang muncul dan kemudian menghilang di atas lautan.

Misterius?
Tak ada nama Segitiga Bermuda dalam peta resmi. Ia hanya wilayah laut dalam garis imajiner yang menghubungkan tiga wilayah: Bermuda, Puerto Riko, dan Miami.

Di kalangan para pelaut, wilayah itu terkenal dengan kondisi cuacanya yang kompleks, dapat berubah sewaktu-waktu. Meski tak bisa dipastikan kapan cuaca akan berubah, ada sejumlah pertanda yang bisa dibaca: suhu turun dengan tajam, angin kencang, dan badai kuat.

Ada banyak kapal dan pesawat yang hilang di wilayah itu. Salah satunya kesatuan Penerbang 19 pada 5 Desember 1945 pukul 14.10 waktu setempat. Dilaporkan enam pesawat dan 27 orang hilang secara misterius.

Juga peristiwa hilangnya kapal induk USS Cyclops pada 1918, yang hingga saat ini jadi misteri terbesar dalam sejarah Angkatan Laut Amerika Serikat.

Berbagai macam dugaan aneh muncul, ada yang mengatakan alien yang bersembunyi di bawah lautan, portal ke dimensi lain, gas methan, lokasi Atlantis yang hilang, hingga rumah iblis, Dajal.

Namun, spekulasi liar itu dibantah oleh para ilmuwan, termasuk Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

LAM NO ACEH


LAM NO







Negeri Daya kini disebut Aceh Jaya sebuah kabupaten pecahan Aceh Barat. Meski secara geografis dan administrasi telah dipisahkan, dua daerah ini memiliki pertalian sejarah antara Negeri Lan Na dan Pasir Karam.
Kabupaten Aceh Jaya terbentuk pada tahun 2002 dengan enam Kecamatan. Sebelah utara berbatasan dengan Aceh Besar dan Pidie; sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia dan Aceh Barat; sebelah Timur dengan Pidie dan Aceh Barat; sebelah barat dengan Samudra Indonesia.

Secara geografis daerah ini memiliki 3.727,00 km. di Aceh Jaya hanya terdapat satu bahasa daerah yakni bahasa Aceh. Suku-suku lain selain Aceh yang berdiam di daerah ini yang pada awalnya berbahasa Indonesia, setelah agak lama menetap dan berbaur dengan masyarakat setempat, mereka juga berbahasa Aceh. Masyarakat Tionghoa yang kebetulan berdiam di daerah ini umumnya juga berbahasa Aceh sebagaimana masyarakat setempat.

Berawal dari Lhan Na

Di hulu Krueng Daya dulu ada sebuah dusun yang dinamai Lhan Na, sekarang disebut Lam No. Menurut H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961) penghuni dusun itu berasal dari Bangsa Lanun. Orang Aceh menyebutnya “lhan” atau bangsa Samang yang datang dari Semenanjung Malaka dan Hindia Belakang seperti Burma dan Campa. Kemudian ke hulu Krueng Daya itu juga datang orang-orang baru dari Aceh Besar, Pasai dan Poli (Pidie).

Pada abad XV terjadi perang antara Raja Pidie dengan Raja Pasai. Perang itu disulut oleh Raja Nagor bekas petinggi di Pasai. Dalam perang itu Pasai Kalah, Sultan Haidar Bahian Sjah tewas. Raja Nagor kemudian memerintah Pasai (1417). Beberapa keturunan Raja Pasai kemudian melakukan perpindahan. Sampai kesuatu tempat mereka kelelahan tak berdaya melanjutkan perjalanan.

Mereka pun mendirikan negeri baru di daerah tersebut, negeri itu diberinama Daya untuk mengenang ketakberdayaan mereka melanjutkan perjalanan. Cerita yang sama juga disebutkan dalam sebuah dongeng.
Menurut H M Zainuddin (1961), dahulu kala sekelompok orang datang ke negeri itu dengan perahu, sampai di muara sungai perahu mereka kandas. Mereka semua turun untuk mendorong perahu tersebut, tapi perahu itu tetap kandas. Mereka tidak berdaya lalu turun dan membuka perkampungan di sekitar muara sungai itu. Mereka pun menamai daerah itu dengan sebutan Daya.

Suatu ketika Raja Daya dan pasukannya melakukan pemeriksaan ke hulu sungai. Sampai di sana mereka mendapati sebuah perkampungan yang dihuni oleh orang yang mirip dengan bangsa Lanun dari Malaka dan Hindia Belakang. Mereka disebut orang Lhan.


Orang orang Lhan ini merupakan penduduk asli di sana, yang kala itu masih suka mengenakan pakaian dari kulit kayu dan kulit bintang yang tipis. Karena sudah lama mendiami tempat itu maka disebutlah mereka sebagai orang “Lhan Kana” atau “Lhan Na” yang artinya orang Lhan sudah ada disitu. Lama kelamaan terjadi perubahan pengucapan dari “Lhan Kana” menjadi “Lam Na” dan seterusnya ketika Belanda masuk ke Aceh ucapannya menjadi “Lam No”.

Masih menurut H M Zainudin, berdasarkan keterangan T Radja Adian keturunan Uleebalang (Zelfbestuurder) pada tahun 1945 diceritakan, Negeri Daya pernah diperintah oleh Pahlawan Syah, seorang raja yang pernah berperang dengan Poteu Meureuhom. Pahlawan Syah yang dikenal dengan sebutan Raja Keuluang merupakan orang yang kebal terhadap senjata apa pun, ia tidak bias ditaklukkan.


Ia orang yang sangat kuat. Kekuatannya itu diyakini masih menyisakan bekas berupa bekas tapak kakinya. Saat ia mencabut batang kelapa kakinya terbenam ke tanah. Tapak kaki itu disebut-sebut berada di Kuala Daya.

Disebut sebagai Raja Keuluang karena Pahlawan Syah berpostur tinggi besar, ketika dipanggil untuk menghadiri rapat (Meusapat) oleh Raja, peraturan yang diberikan Pahlawan Syah dan daerah yang dipimpinya selalu berbeda dengan daerah lain. Ia banyak mendapat keluangan, maka digelarlah dia Raja Keuluang.

Negeri Keuluang itu terdiri dari Keuluang, Lam Besoe, Kuala Daya dan Kuala Unga. Raja Keuluang meninggal setelah berperang dengan Poteumeureuhom. Raja yang kebal senjata itu berhasil ditangkap ketika daerahnya ditaklukkan. Ia meninggal dalam ikatan rantai besi.

Masa pemerintahan Raja Keuluang atau Pahlawan Syah menurut pemeriksaan Controleur Vetner di calang pada tahun 1938, diperkirakan antara tahun 1500 M sampai 1505 M. seber lain adalah T R Adian, sebagaimana dikutip H M Zainuddin. Menurutnya, pertalian keluarga Raja Keuluang tersebar dari Tanoeh Abee Sagi XXII Mukim Seulimum, Krueng Sabe dekat Calang dan Negeri Bakongan, Aceh Selatan. “Kalau naskah ini serta keterangan T R Adian itu kita hubungkan dengan makam Sultan Ali Riayat Sjah atau Marhum Daya, jang menurut pemeriksaan Prof Dr Mussain Djajadiningrat, Marhum Daja meninggal dalam tahun 1508,” tulis H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961).

Sementara lainnya, di Kuala Ungan dekat Daya ada satu kuburan raja yang mengkat pada tahun 1497, tapi belum jelas makam siapa apakah makam Marhum Unga atau Marhum Daya. Masih juga belum jelas apakah Marhung Unga itu adalah Pahlawan Syah yang disebut sebagai Raja Keuluang, anak raja Pasai yang pertama membuka Negeri Daya.

Kemudian datang Marhum Daja Sulthan Ali Riajat Sjah jang namanja Uzir, anak dari Sulthan Inajat Sjah ibnu Abdullah Al Malikul Mubin, jang bersaudara dengan Sulthan Muzaffar Sjah. Raja di Atjeh Besar dan bersaudara pula dengan Munawar Sjah Raja di Pidie. Diyakinkan negeri Keluang/Daja itu berdiri pada akhir abad ke XV oleh Marhum Unga, bias jadi juga dibangun oleh Marhum Daya.

Setelah Negeri Daya maju dengan berbagai hasil bumi, pada akhir abad ke XVI datang ke sana orang orang Portugis, Arab, Spanyol dan Tionghoa untuk membeli rempah-rempah. Setelah itu datang juga orang Belanda, Inggris dan Perancis. Malah sampai kini di Lam No terdapat keturunan Portugis.


Negeri Pasir Karam

Di sekitar Negeri Daya juga pernah terkenal Negeri Pasir Karam, negeri yang kemudian diyakini sebagai asal mula Aceh Barat. Kisah ini bermula dari kedatangan orang Minangkabau yang lari dari negerinya membuat perkebunan di daerah itu maju. Ungkapan “Di sikolah kito balabueh” disebut-sebut sebagai asal mula nama Meulaboh.

Hal ini sesuai dengan pendapat HM. Zainuddin dalam buku Tarikh Atjeh dan Nusantara (1961). Menurut beliau, asal mula Meulaboh adalah Negeri Pasir Karam. Negeri itu dibangun dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil (1588-1604). Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.

Di negeri itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada.

Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836). Sampai di Teluk Pasir Karam pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh. “Di sikolah kito balabueh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari asal kata balabueh, atau berlabuh.

Pendatang dari Minangkabau itu kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Di antara mereka malah ada yang menjadi pemimpin di antaranya Datuk Machudum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu.


Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machudum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana. Sama dengan masyarakat setempat, ketiga Datuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka ladang sehingga kehidupan mereka jadi makmur.

Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap Sultan Aceh, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah untuk memperkenalkan diri. Ketika menghadap Sultan, masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.

Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama-kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada sultan Aceh saat itu seorang wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sultan dan dikirimlah ke sama Teuku Chiek Purba Lela yang menjadi wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.

Para Datuk tersebut merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan. Sultan Aceh mengirim Penghulu Sidik Lila Digahara ke sana dan berwenang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.

Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasah, dan hukum Syariat. Sultan Aceh mengirim Teungku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah, untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.

Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur Sjah (1858-1870). Karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda, semakin banyaklah orang dari Minangkabau yang pindah ke sana. Di tanah Minangkabau mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada Belanda.

Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keujruen Chiek Ujong Kalak.

Federasi itu disebut Kaway XVI karena dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kalak, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am.

Selain federasi Kaway XVI, di perbatasan Aceh Barat dan Pidie juga terbentuk federasi XII yang terdiri dari 12 Uleebalang yaitu: Pameu, Ara, Lang Jeue, Reungeuet, Geupho, Reuhat, Tungkup/Dulok, Tanoh Mirah/Tutut, Geumpang, Tangse, Beunga, serta Keumala. Federasi XII ini dikepalai oleh seorang Kejreuen yang berkedudukan di Geumpang.
Iskandar Norman


PUTROE PHANG

PUTROE PHANG


Namanya Puteri Kamaliah. Tapi orang Aceh memanggilnya dengan sebutan Putroe Phang. Permaisuri Sultan Iskandar Muda ini punya peranan penting dalam membuat aturan dan tata krama kehidupan masyarakat Aceh.

Adat bak Po Meureuhom // Hukum bak Syiah Kuala // Qanun bak Putroe Phang // Reusam bak Bentara

Rasanya, hampir tak ada orang Aceh yang tak mengenal semboyan itu: Adat berpegang pada Mahkota Alam, hukum (syariat) pada Syiah Kuala, Qanun pada Putroe Phang, dan Reusam pada laksamana.

Kalimat Qanun bak putroe Phang, konon muncul karena sang permaisuri cerdas dan bijaksana dalam memutuskan perkara dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

Syahdan, Ada satu kasus menarik yang menunjukkan kebijaksanaan Putroe Phang. Suatu hari, ada kasus yang dihadapi pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan perempuan. Mereka diwarisi rumah dan sepetak sawah oleh orang tuanya. Si anak perempuan tidak terima ketika dia mendapat jatah sawah dan anak laki-laki memperoleh warisan rumah.

Anak perempuan itu lantas kembali memperkarakan kasus itu. Rupanya, kasus itu sampai pula ke telinga Putroe Phang. Oleh Putroe Phang, warisan itu dibalik. perempuan mendapat warisan rumah dan laki-laki diberi sawah. Alasannya, laki-laki yang tidak punya rumah bisa tidur di meunasah, hal yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan. Lagi pula, laki-laki punya tenaga untuk menggarap sawahnya.


Putusan itu diterima semua pihak, termasuk Sultan Iskandar Muda. Bahkan, hingga saat ini, di beberapa daerah di Aceh, tradisi memberi warisan rumah untuk perempuan masih dipelihara. Sampai-sampai orang Aceh menyebut 'Po rumoh' untuk istrinya. Artinya, sang empunya rumah.

Maka, sejak itulah, Putroe Pang menjadi rujukan dalam penyelesaian masalah hukum dalam kehidupan sehari-hari. Ia pun sering terlibat dalam penyusunan qanun atau peraturan kerajaan.

Berasal dari Kerajaan Pahang, Malaysia, Putroe Phang dinikahi Sultan Iskandar Muda ketika menaklukkan semenanjung Malaka pada abad ke-17, masa keemasan Kesultanan Aceh Darussalam.

Dari cerita yang beredar, Sultan Iskandar Muda meminang Putroe Phang melalui proses 'pertukaran permaisuri': Iskandar Muda menikahi Putroe Phang, dan Sultan Pahang Raja Abdullah menikahi permaisuri pertama Iskandar Muda, Puteri Sendi Ratna Indra. Hal itu dilakukan untuk menguatkan pengaruh penyebaran Islam sekaligus menyingkirkan imperialisme Barat di kawasan selat Malaka.

Perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Puteri Kamaliah dianugerahi dua anak: Meurah Pupok dan Puteri Sari Alam. Kelak, Sari Alam naik tahta menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani dengan gelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.

Selain berwatak tegas, Sultan Iskandar Muda rupanya pribadi yang romantis. Tak banyak literatur tentang ini. Tapi simaklah sepucuk surat balasannya kepada Ratu Inggris Elizabeth 1 seperti dikutip sejarawan Prancis Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Begini bunyinya: "Hambalah sang penguasa perkara negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam."

Sayangnya, kita tak menemukan surat-surat cinta Iskandar Muda untuk Putroe Phang. Namun, sebagai bukti cintanya kepada Putroe Phang, Sultan membangun Gunongan dan Pinto Khob sebagai tempat pemandian sekaligus bercengkrama untuk sang permaisuri. Taman ini terhubung dengan istana Darud Dunya (sekarang meuligoe gubernur).
Taman Putroe Phang dulunya satu kesatuan dengan Gunongan. Dalam kitab Bustanus Salatin yang ditulis ulama Nuruddin Ar-Raniry, taman itu disebut Taman Ghairah. Di tengah kolam, berdiri Pinto Khop yang artinya pintu mutiara keindraan atau kedewaan/raja-raja.
Menurut pengusaha emas Harun Keuchiek Leumiek, motif gerbang Pinto Khob-lah yang kini dijadikan motif perhiasan dengan nama Pinto Aceh.
Sayangnya, kini taman yang terletak di pusat kota Banda Aceh itu seperti terlantar. Sampah plastik bertebaran di dalam kolam. Ironis, mengingat sang permaisuri punya peranan penting dalam membuat tata krama kehidupan masyarakat Aceh.Mungkinkah Putroe Phang lupa membuat aturan menghargai tempat bersejarah? Ataukah kita yang tak mau menghargai? 

AJARAN LELUHUR NUSANTARA


AJARAN LELUHUR NUSANTARA





Dalam filosofi dasar Nusantara dikenal adanya motto “Memayu hayuning bawana” atau menyelematkan dan mensejahterakan alam semesta raya”. Identik dengan doktrin Islam yakni ”Hablumin alami”. Oleh sebab itu dalam menghargai sesama mahkluk Tuhan Seru Sekalian Alam, nenek moyang menamakan bumi dengan Ibudan angkasa (langit) dengan Bapa (ayah).Dan sebagai negara agraris telah dipetakan adanya “Pawukon” yakni Ilmu Perbintangan Jawa (30 rasi berumur 210 hari) dan pedoman perputaran iklim yang memiliki siklusnya masing – masing yang disebut dengan“Pranata Mangsa” yang dikenal sejak abad XIX SM, dua abad sebelum ditemukannya ilmu perbintangan purba bangsa Peru.




  1. A. FILOSOFI IBU BUMI

Bumi oleh nenek moyang disebut sebagai Ibu Bumi, Ibu Pertiwi atau Ibu Shinta. Mengapa karena bumi sebagai tempat dimana manusia lahir dan ke mana jasad kelak berbaring. Bumi yang memberikan kehidupan seluruh mahkluk hidup di dunia ini. Manusia makan dan minum dari sari – sarinya bumi lewat flora – fauna maupun air. Oleh sebab itu setiap bapak tani memulai menanam padi ataupun memanennya senantiasa diiringi dengan upacara ritual termasuk rasa syukur dengan istilah sedekah bumi, bersih desa dll. Mereka pantang pula meludah langsung ke bumi. Kini bumi dikotori, diperah, dijarah, dibor tanpa adabMaka peristiwa Lapindo nampaknya merupakan pelajaran yang amat berharga. Secara filosofis bisa jadi menyiratkan makna bahwa “laku – lampah bangsa Indonesia ini telah penuh dengan lumpur dosa”.

  1. B. BAPA KUASA
Langit disebut dengan Bapa Angkasa atau Bapa Kuasa ? Mengapa ?
Manusia masih dapat bertahan hidup dengan tidak makan maupun minum yang dihasilkan dari bumi. Namun manusia tidak akan mungkin mampu hidup tanpa oksigen (udara) selama 2 jam saja, yang diberikan oleh angkasa raya ini. Oleh sebab itulah dinamakan Bapa Kuasa (bukan Bapa Maha Kuasa). Karena demikian vital ke dua mahkluk Tuhan Seru Sekalian Alam tersebut keduanya selalu disebut dalam setiap doa mereka. Sedang sebutan bagi Yang Maha Kuasa adalah “GUSTI” yang digambarkan dengan “Cedhak tanpa senggolan adoh tanpa wangenan, lan tak kena kinaya ngapa” (Dekat tiada bersentuhan jauh tanpa batas dan tiada dapat diserupakan dengan apapun juga).

  1. C.TANAH AIR
Keberadaan keduanya yakni Ibu Bumi dan Bapa Kuasa yang dilambangkan merah dan putih adalah merupakan tanah air – atau tumpah darah. Bangsa barat hanya mengenal istilah “Father Land” saja. Oleh sebab itulah warna merah dan putih disamping melambangkan tanah air juga asal muasal terjadinya manusia dari sel darah merah (Sang Ibu) dan darah putih (Sang Bapa) yang unsurnya disamping : bumi dan udara juga air dengan api (panas). Oleh sebab itu manusia dianggap sebagai mikro kosmos, yang juga memiliki miniatur kutup utara (Iceland), yakni kepala dan kutub selatan (greenland) yakni kedua belah kaki serta anasir kehidupan tadi dalam organ manusia. Maka untuk menghormati keberadaan asal usul manusia tersebut oleh Kerajaan Majapahit yang kala itu mengembangkan agama “Siwa – Buddha Tatwa”, dijadikan umbul – umbul “Gula – KlapaD. PAWUKON & PRANATA MANGSAlmu perbintangan Jawa adalah terkaya karena berjumlah 30 rasi yang siklusnya 7 (tujuh) hari yang dimulai setiap hari Ngaad (Minggu), yang ditandai dengan rasi pertama “Shinta” (Sang Ibu)dan terakhir (ke 30) “Prabhu Watu Gunung” (Sang anak sekaligus suami). Adapun nama – nama haripun menggunakan lambang planet yakni : Radi/Radite (Senin) = Matahari; Anggara (Selasa) = Mars; Respati/Wrahespati = Yupiter; Budo (Rabo) = Mercurius; Sukro (Kamis) = Venus; Soma (Jumat) = Rembulan dan Sinta (Saptu) = Bumi (dunia). Filosofi awal (Matahari) dengan akhir (Bumi) kembali termanifestasi ke dalam huruf HA dan NGA yang luluh menjadi “HONG”. Sejalan dengan Alkitab Wahyu 22 : 13 “DIA – lah yang Awal dan Yang Akhir”. Aku adalah Alpha & Omega“, juga Al – Qur’an Surat Al Hadid 57 : 3 “DIA – lah yang awal dan akhir, Yang Lahir dan Yang Batin. DIA Maha Mengetahui Segalanya”. Dan dalam alphabetik Jawa ” HA NA CA RA KA” bila dibalik ternyata identik dengan huruf Arab yang bunyinya “Qur’an”. Dan huruf Jawa yang jumlahnya 20 itu bukankah memiliki makna filosofis tentang “Sangkan Paraning Dumadi” ? Bukankah 20 itu merupakan sifat – sifat Sang Khaliq sendiri


  1. E. KEBENARAN FILOSOFI NUSANTARA

Disamping filosofi tersebut dalam dunia pewayangan dalam awal dan akhir pementasan selalu didahului dan diakhiri dengan “Gunungan” yang merupakan simbul alam semesta raya.

Oleh sebab itu sehebat apapun manusia dia hanyalah wayang belaka maka pemahaman“sak derma hanglakoni” (sekedar menjalankan ketentuan Tuhan Seru Sekalian Alam) adalah benar adanya.

Dalam buku “Menguak Hiruk Pikuk Tahun 2005 – 2006, Menunggu Munculnya Semar Super Seiring Suro 1938 SJ” salah satu bahasannya adalah adanya “Pencanangan Semiliar Pohon“.Sembari menunggu hasil kongkrit konferensi Pemanasan Global dan Perubahan Iklim, mari kita berjuang bersama – sama menyelamatkan bumi seisinya secara syariati dan secara batini. Kita rekat kembali dan hayati filosofi Nusantara “Memayu Hayuning Bawana” & “Ngawula dumateng kawulaning GUSTI”.


Ajaran illahi akan kembali ke diri ummat manusia,Ajaran itu datang melalui wahyu sebagai penenang / pengingat,karena Ia merupakan rangkuman perjalanan semesta…beserta isinya..sebelum dan sesudah…dengan wahyu manusia bisa di ukur kapasitasnya, Al Quran Surat Albaqarah 29.” Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”. hal terkait menurut sejarah ajaran leluhur Nuswantara ada 7 tingkatan di urut dari strata paling bawah :

1.Manggala Kasungka

2.Manggala Seba

3. Manggala Raja

4. Manggala Wening

5. Manggala Wangi

6. Manggala Agung

7. Manggala Hyang.
tujuh hal tersebut menjadi takaran para leluhur untuk mengukur kualitas manusia. Jejak ajaran ini ada di Nuswantara,kemudian terangkum dalam ajaran Illahi (Alquran) sampai di pahami penjuru semesta,hanya kemudian ada yg menyalahgunakan untuk saling menghancurkan..
Untuk itu mari kita bangun Nuswantara dengan ajaran Illahi yang telah di terapkan oleh leluhur hingga mencapai peradaban luhur yang bertatanan adiluhung,untuk generasi masa depan, yang berbudi pekerti luhur.
QS. Al-Alaq 1-4 (terjemahan) :”Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan Kalam.”

Dalam Brahama Sutra disebutkan : ““Hanya ada satu Tuhan, tidak ada yg kedua. Tuhan tidak berbilang sama sekali”.


Q.S.Al-Baqarah(2):213:”Manusia itu adalah umatyangsatu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkarayang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orangyang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orangyang beriman kepada kebenaran tentang halyangmereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orangyang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.



AGAR TIDAK ADA LAGI KEKERASAN DI SEMUA SISI KEHIDUPAN,BAIK FISIK MAUPUN SEPIRITUAL…NYAWIJI MARANG HYANG WIDHI..BERTAOHID..maka JAYA NUSWANTARA….

Bhinneka Tunggal Ika : Berbeda tapi satu tujuan

Menjadi budaya pribadi dan bangsa menuju pendidikan antar bangsa. Capai perdamaian, hak asasi, demokrasi, pembangunan berkelanjutan, dunia sejahtera. Membangun budaya pribadi yang mandiri. Siap trampil yang hakiki mengisi masa depan gemilang.

Membangun negara, hapus diskriminasi, lindungi lingkungan, padukan nilai kemanusiaan.

Kontemporer, tradisional secara berimbang, adil dan manusiawi.

Membangun dunia, terus tebarkan rahmat, tanamkan ta’aruf kemanusiaan.

Ajaran Illahi untuk semua. …Ajaran Illahi untuk semua….

KISAH RAJA UBIET

KISAH RAJA UBIET


Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan 

Banda Aceh-Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat.

Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

Sementara itu, sebagian anak kecil lainnya mulai bermain permainan yang biasa mereka lakukan. Tak ada yang beda, selain waktu anak-anak usia sekolah ini, hanya bermain atau mengikuti orang tuanya ke ladang.

Siang pun tiba, matahari tepat di atas kepala dan embun pun sudah menghilang. Suhu yang biasanya dingin, kini mulai menghangat. Seusai makan siang, mereka kembali bekerja dan menjelang sore, mereka kembali ke rumah masing-masing.

Malam tiba, giliran anak-anak belajar mengaji dengan lampu penerangan seadanya dan itulah satu-satunya pendidikan yang mereka terima dikarenakan semenjak zaman penjajahan Belanda, tidak ada sekolahan apalagi guru yang mengajarkan mereka baca tulis.

�Sebenarnya ada anak-anak yang bisa baca tulis, namun hanya sedikit. Mereka bisa baca tulis itu, ketika turun gunung dan menyaksikan sepupu mereka yang berada di Gunung Kong atau Blang Tripa, sudah bisa membaca dan menulis, sehingga yang turun gunung ini pun meminta diajarkan baca tulis.

Tetapi tidak lama, karena setelah keesokan harinya, anak-anak itu, kembali ke gunung,� kata Teuku Raja Keumala, anak pertama dari istri kedua (alm) Raja Ubiet, kepada koran ini, Selasa (23/2) di Seutui, Banda Aceh.

Diakui Teuku Raja Keumala, masyarakat yang berada di Gunung Ijo atau Krueng Itam, tidak pernah merasakan bangku sekolah. Mereka bisanya mengaji, karena hanya ada guru mengaji di pedalaman tersebut. Kecuali, ujarnya, keturunan Raja Ubiet yang telah bermukim di Gunung Kong (kuat) atau yang telah berdomisili di Alu Bilie, pemukiman di tepi Jalan Nagan Raya-Meulaboh, mereka telah menerima modernisasi.

�Masih ingat apa yang dikatakan nek tu alias indatu (tetua Teuku Raja Keumala) bahwa mereka dilarang atau terlarang turun hingga menyeberang sungai Tripa atau yang saat ini, di sebut Gunung Kong. Bisanya kami, turun gunung sebatas Blang Tripa, tempat sebagian warga lainnya membuka pemukiman baru, dimana Pemerintah Aceh membangunkan rumah bantuan untuk keturunan Raja Ubiet disana,� tukasnya lagi.

Beberapa diantara keturunan Raja Ubiet atau yang mengikuti orang tua Raja Ubiet, Raja Tampuk lari dari kejaran Belanda, memang ada yang bermukim di Gunung Kong. Nah, terangnya, ketika mereka telah menyeberang sungai itu, maka dianggaplah bahwa mereka telah melanggar petuah orang tua, namun tidak serta merta dikucilkan.

Selain pendidikan yang tidak ada sama sekali, kecuali mengaji. Apabila berobat pun, masyarakat hanya ke dukun setempat yang meramu obat-obatannya dari tanaman di sekitar hutan. Menurut Teuku Raja Keumala, sama dengan sekolahan, maka tidak ada perawat atau mantri yang dipercaya masyarakat untuk mengobati sakit mereka.

Biasanya, sakit yang diderita pun hanya seputar gatal-gatal atau penyakit kulit, sakit perut, kepala, luka-luka di gigit serangga atau luka gores. Tidak ada sakit yang aneh-aneh, seperti penyakit orang kotaan, tambah Teuku Saudi, sepupunya Teuku Raja Keumala yang sudah lama bermukim di Kota Banda Aceh.

Dituturkan Teuku Saudi, sebagian besar keturunan Raja Ubiet, mulai terkontaminasi kemajuan atau modernisasi, tetapi tidak sedikit pula yang masih bertahan dengan kehidupan alamiah di tengah hutan rimba. Keteguhan masyarakat yang masih bertahan di Gunung Ijo atau hulu Krueng Itam, dikarenakan masih mempertahankan petuah orang tua, agar tidak melewati daerah terlarang.

Gajah Pemalu
Diceritakan Teuku Raja Keumala, ketika menyusuri jalan setapak menuju Pucuk Gunung Ijo atau Krueng Itam, mereka harus berjalan seharian penuh di tepi sungai Krueng Tripa yang sebagian besarnya agak mendatar. Setelah menyeberangi Sungai Tripa yang dalamnya hanya setinggi dada seorang pria, maka warga setempat, masih harus menyusuri tepian Sungai Krueng Itam.

Keesokan harinya, jalannya akan mendaki gunung, menuruni lembah, mendaki lagi dan menuruni gunung lagi, seharian penuh, hingga menuju pucuk Gunung Ijo yang letaknya berbatasan dengan Aceh tengah dan Pidie Jaya. �Tak ada akses jalan ke tempat lainnya,� tukas Teuku Raja Keumala.

Ketika menyusuri jalan dua hari dua malam menuju pemukiman warga pedalaman keturunan Raja Ubiet, mereka kerap menemukan bekas jejak tapak harimau yang disebut warga setempat dengan julukan �raja�. Begitu juga dengan feses atau tapak gajah. Malahan, ujarnya lagi, beberapa di antara warga disitu, pernah berpapasan dengan gajah, tetapi gajahnya tertunduk malu, ketika mereka melintas.

Raja Keumala menilai kalau gajah itu merupakan gajah aulia penunggu gunung setempat. Dan lagi, ucapnya, binatang buas yang kerap mereka temui feses dan tapaknya, tidak pernah menggangu begitu juga sebaliknya, mereka tidak mengganggu binatang tersebut.
Teuku Raja Keumala bilang, perkara menikah, mereka masih menganut sistem lama, dimana kalau tertarik terhadap seorang perempuan, maka si pria bersama orang tua, langsung meminang dan begitu si orang tua perempuan setuju, maka hari itu juga pernikahan dilangsungkan, tanpa saling kenal terlebih dahulu.

Tradisi ini, masih melekat hingga kini di masyarakat yang menghuni pedalaman dan Blang Tripa, tetapi tidak yang di Gunung Kong. Apalagi, tuan kadi yang di Gunung Kong, kata Teuku Raja Keumala, kesohor �tukang� menikahkan orang yang di daerah asal si pasangan, tidak disetujui, sehingga pasangan itu pun, nikah siri.

Raja tidak mengetahui kalau pemerintah pusat bakal mengeluarkan peraturan pelarangan nikah siri. Menurutnya, mereka di pedalaman lambat mendapatkan informasi dikarenakan tidak adanya fasilitas penyampai pesan seperti masyarakat di kota.

Tertegun
Ketika Raja Keumala melihat foto dirinya di koran ini. Ia dengan seksama memperhatikan, lama matanya tidak berpindah dari koran tersebut. Entahlah apa yang ada dipikirnnya, tetapi sebuah senyum pun tersungging di bibirnya, tatkala sepupunya mengatakan, dia telah masuk koran. Beberapa kali dicobanya memegang koran Rakyat Aceh. Senyum pun kembali tersungging. (ian)

Sumber : Rakyat Aceh

Raja Ubiet di Pedalaman Rimba Aceh


Kisah Keturunan Raja Ubiet di Pedalaman Rimba Aceh


Quote:Hidup terisolir selama puluhan tahun di tengah Hutan membuat keturunan Raja Ubiet tak tersentuh peradaban modern. Mereka yang dulunya melarikan diri dari kejaran Belanda dari Keumala-Tangse ke pedalaman pucuk Gunung Itam. Ironisnya, mereka baru mengetahui jika Indonesia sudah merdeka pada tahun 1985. Bahkan sampai saat ini ada di antara mereka yang tak pernah makan garam, takut turun gunung karena menganggap Negeri masih di kuasai Belanda. Bagaimana kisahnya?
Raja Ubiet adalah Raja Keumala-Tangse, Aceh Pidie yang membawa pengikut dan keturunannya ke Gunung Itam di gugusan Bukit Barisan di Nagan Raya untuk menghindari kejaran penjajah Belanda. Mereka hidup secara tradisional mengandalkan kemurahan alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka hidup dalam peradaban yang nyaris tanpa sentuhan modernisasi.

Saat ini, ada 50 kepala keluarga yang menempati 50 rumah di hulu Sungai Krueng Tripa di pegunungan itu. Mereka dipimpin Teuku Raja Keumala (50), keturunan langsung Raja Ubiet. Teuku Raja Keumala adalah raja tanpa mahkota dan kursi kerajaan di wilayah yang berbatasan dengan Aceh Tengah dan Pidi Jaya itu. Saking sederhananya, Teuku Raja Keumala kerap tampil berbusana hitam-hitam tanpa alas kaki dengan kepala dililit kain hitam

Warga yang dipimpin Teuku Raja Keumala tak kalah tradisionalnya dan hidup alamiah di hutan rimba. Malahan hingga kini, ada warganya yang tidak makan garam, karena tidak turun gunung. Selain 50 rumah yang berada di pucuk Gunung Itam itu, komunitas turunan Raja Ubiet, yang sudah menikmati perubahan alias modernisasi, membuka pemukiman baru di Gunung Kong.

“Mereka turunan kesekian dari Raja Ubiet, ayah saya. Mereka turun gunung pada tahun 80-an, semasa gubernur Ibrahim Hasan,” ujar Teuku Raja Keumala dalam bahasa Aceh kental yang diterjemahi oleh Saifuddin Junaidi, 59 tahun.

Jarak tempuh dari Gunung Kong ke Pucuk Gunung Itam, memakan waktu dua hari dua malam berjalan kaki. Jalannya hanya setapak dan melintasi bebatuan juga hutan rimba.
Quote:
Ironisnya, kehidupan warga pedalaman yang dulunya melarikan diri dari kejaran Belanda dari Keumala-Tangse, Pidie, ke pedalaman pucuk Gunung Itam, ini baru mengetahui kalau Indonesia merdeka, semasa Gubernur Ibrahim Hasan atau tepatnya tahun 1985. Kala itu, Ibrahim Hasan, meminta mereka untuk turun gunung.

Seusai bertemu gubernur, rumah bantuan pun diberikan, makanya sebagian komunitas keturunan Raja Ubiet, berada di Gunung Kong. Sebagian turunan kedua Raja Ubiet lainnya masih bertahan di pedalaman dan hidup apa adanya yang bersumber dari hutan. “Kami menanam pisang, ketela, singkong, durian, dan juga padi, untuk makan sehari-hari,” tukas Teuku Raja Keumala, anak kelima dari Raja Ubiet.

Diakuinya, pendatang yang berkunjung ke pemukiman di Pucuk Gunung Itam, tetap harus beradaptasi dengan warga setempat. Misalnya, lanjutnya, pakaian tamu harus berwarna hitam-hitam dan tidak boleh pakaian yang menyerupai penjajah Belanda.

Tidak boleh memakai topi juga tanpa alas kaki. Pengharusan ini, ujarnya, dikarenakan menghormati kebiasaan mereka sejak zaman penjajahan Belanda, tempo dulu. Kebaisaan tersebut, terbawa hingga kini, kecuali komunitas turunan yanga berada di Gunung Kong.

Dia bilang, kaum perempuan pun juga mengenakan busana serba hitam dan memakai celana panjang seperti yang dikenakan Cut Nyak Din, pahlawan nasional Aceh. hanya saja, celananya serba longgar begitu juga bajunya. Diakuinya lagi, pakaian mereka dijahit menggunakan tangan dan benangnya yang diolah dari benang nenas. Sementara, kainnya di pesan dari pasar melalui kurir sejak zaman penjajahan dulu.

Ia pun mengisahkan, Raja Ubiet dulunya tidak mau menyerah atau takluk kepada Belanda, makanya mereka sekeluarga lari ke gunung. Tak sampai di situ, diperjalanan mereka tetap dikejar dan berakhir di Pucuk Gunung Itam, sisanya ke gunung lainnya. Saat di kejar itu, mereka membuang semua alasa kaki, sehingga tidak mudah diendus jejaknya.

Begitu juga, terangnya, pakaian warna warni ikut mereka tanggalkan, karena dianggap memudahkan pihak Belanda menemukan mereka. Alhasil, hingga kini mengenakan pakaian serba hitam dan tanpa alas kaki, meski ke kota sekalipun. Kecuali, komunitas yang berada di Gunung Kong, sudah pakai alas kaki dan juga pakaiannya berwarna-warni.

Kebencian terhadap penjajah itulah, makanya siapapun yang berkunjung ke Pucuk Gunung Itam, tampilannya tidak boleh menyerupai penjajah. Lagipula, hingga kini mereka belum mau menerima kemajuan tekhnologi, sehingga tidak ada televisi, apalagi handphone, di sana.

Selain itu, tingkat kewaspadaan mereka masih tetap tinggi dan berbekas hingga saat ini. Pandangan matanya lebih sering ditujukan ke bawah, namun ekor matanya kerap mengawasi, seolah dalam kesiap-siagaan penuh alias penuh kecurigaan terhadap orang asing. Meski Indonesia telah merdeka 60-an tahun lebih, namun, keturunan Raja Ubiet, masih ada rasa ketakutan kalau-kalau Belanda kembali mengejar mereka.

Tak pelak lagi, ada diantara warga di Pucuk Gunung Itam, ini yang berbulan-bulan tidak menikmati rasanya garam atau pun manisnya gula. Mereka biasa hidup dalam penderitaan di tengah hutan belantara, karena ketakutan tadi.



Quote:Quote:Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan
Quote:
Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.
Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

Sementara itu, sebagian anak kecil lainnya mulai bermain permainan yang biasa mereka lakukan. Tak ada yang beda, selain waktu anak-anak usia sekolah ini, hanya bermain atau mengikuti orang tuanya ke ladang.

Siang pun tiba, matahari tepat di atas kepala dan embun pun sudah menghilang. Suhu yang biasanya dingin, kini mulai menghangat. Seusai makan siang, mereka kembali bekerja dan menjelang sore, mereka kembali ke rumah masing-masing.

Malam tiba, giliran anak-anak belajar mengaji dengan lampu penerangan seadanya dan itulah satu-satunya pendidikan yang mereka terima dikarenakan semenjak zaman penjajahan Belanda, tidak ada sekolahan apalagi guru yang mengajarkan mereka baca tulis.

“Sebenarnya ada anak-anak yang bisa baca tulis, namun hanya sedikit. Mereka bisa baca tulis itu, ketika turun gunung dan menyaksikan sepupu mereka yang berada di Gunung Kong atau Blang Tripa, sudah bisa membaca dan menulis, sehingga yang turun gunung ini pun meminta diajarkan baca tulis.

Diakui Teuku Raja Keumala, masyarakat yang berada di Gunung Ijo atau Krueng Itam, tidak pernah merasakan bangku sekolah. Mereka bisanya mengaji, karena hanya ada guru mengaji di pedalaman tersebut. Kecuali, ujarnya, keturunan Raja Ubiet yang telah bermukim di Gunung Kong (kuat) atau yang telah berdomisili di Alu Bilie, pemukiman di tepi Jalan Nagan Raya-Meulaboh, mereka telah menerima modernisasi.

Selain pendidikan yang tidak ada sama sekali, kecuali mengaji. Apabila berobat pun, masyarakat hanya ke dukun setempat yang meramu obat-obatannya dari tanaman di sekitar hutan. Menurut Teuku Raja Keumala, sama dengan sekolahan, maka tidak ada perawat atau mantri yang dipercaya masyarakat untuk mengobati sakit mereka.

Biasanya, sakit yang diderita pun hanya seputar gatal-gatal atau penyakit kulit, sakit perut, kepala, luka-luka di gigit serangga atau luka gores. Tidak ada sakit yang aneh-aneh, seperti penyakit orang kotaan, tambah Teuku Saudi, sepupunya Teuku Raja Keumala yang sudah lama bermukim di Kota Banda Aceh.

Dituturkan Teuku Saudi, sebagian besar keturunan Raja Ubiet, mulai terkontaminasi kemajuan atau modernisasi, tetapi tidak sedikit pula yang masih bertahan dengan kehidupan alamiah di tengah hutan rimba. Keteguhan masyarakat yang masih bertahan di Gunung Ijo atau hulu Krueng Itam, dikarenakan masih mempertahankan petuah orang tua, agar tidak melewati daerah terlarang.



Quote:Quote:Adat Pernikahan
Teuku Raja Keumala mengatakan bahwa perkara menikah, mereka masih menganut sistem lama, dimana kalau tertarik terhadap seorang perempuan, maka si pria bersama orang tua, langsung meminang dan begitu si orang tua perempuan setuju, maka hari itu juga pernikahan dilangsungkan, tanpa saling kenal terlebih dahulu.

Tradisi ini, masih melekat hingga kini di masyarakat yang menghuni pedalaman dan Blang Tripa, tetapi tidak yang di Gunung Kong. Apalagi, tuan kadi yang di Gunung Kong, kata Teuku Raja Keumala, kesohor ‘tukang’ menikahkan orang yang di daerah asal si pasangan, tidak disetujui, sehingga pasangan itu pun, nikah siri.

Raja tidak mengetahui kalau pemerintah pusat bakal mengeluarkan peraturan pelarangan nikah siri. Menurutnya, mereka di pedalaman lambat mendapatkan informasi dikarenakan tidak adanya fasilitas penyampai pesan seperti masyarakat di kota.



Quote:Quote:Diundang Wakil Gubernur
Quote:
Diungkapkan Wagub, Teuku Raja Keumala, baru tiga kali turun ke Ibukota Provinsi. Pertama kali, ketika diundang Gubernur Ibrahim Hasan tahun 1980-an, lalu, semasa konflik, dan ketiga ketika mengunjungi Wagub, ucapnya.

“Saya mengundang Teuku Raja Keumala, kemari, meminta kepadanya agar ikut mengawasi pembangunan bantuan rumah juga yang lainnya, supaya proyeknya berjalan lancar dan tidak ditinggalkan seperti yang lalu-lalu,” tukasnya.

Setelah berbicara panjang lebar dengan Wagub di ruang kerjanya. Wagub pun berkata kepada Teuku Raja Keumala, mau membelikan sepatu atau sandal, untuknya. Sambil tersenyum simpul, Teuku Raja Keumala, mengiyakan tetapi setelah sampai di Pucuk Gunung Itam, akan dilepas kembali.

Ketika disinggung senjata yang masih mereka miliki? Teuku Raja Keumala mengungkapkan, mereka masih menyimpan pedang panjang, peninggalan semasa perang dulu. Jumlahnya pun termasuk banyak, begitu juga rencong.

Sedangkan pistol Aceh, telah diserahkan kepada Polsek setempat, ketika damai MoU Helsinki, lalu. Padahal, kata Wagub, pistol itu merupakan senjata orang Aceh dari abad ke 15 dan sangat disayangkan senjata zaman dulu itu, tidak diserahkan kembali ke museum.
Quote:
Ketika Raja Keumala melihat foto dirinya di koran ini. Ia dengan seksama memperhatikan, lama matanya tidak berpindah dari koran tersebut. Entahlah apa yang ada dipikirnnya, tetapi sebuah senyum pun tersungging di bibirnya, tatkala sepupunya mengatakan, dia telah masuk koran. Beberapa kali dicobanya memegang koran itu. Senyum pun kembali tersungging.



Quote:Itulah kisah salah satu saudara kita di pedalaman Aceh gan, ketakutan mereka oleh kejaran penjajah membuat hidup mereka jauh dari peradaban modernisasi 
Menurut ane yang unik dari mereka adalah anak-anak yang tidak bisa baca tulis namun justru dapat membaca Al-Quran gan 
Semoga tidak ada lagi cerita masyarakat Indonesia ya
ng belum mengetahui Indonesia merdeka